Seperti kemarin dan kemarinnya lagi, Jogja muram dan
menangis ketika hendak melepas hari. Ya ampun; apa itu?? Intinya, sebelum sore,
karena sudah masuk musim basah, kedatangan hujan hampir selalu bisa dipastikan.
Terbayang, kan? Makanan yang selalu tampak nikmat sewaktu
hujan kira-kira ya itu-itu saja: bakso, mi ayam, sop; apa pun yang berkuah dan
mengeluarkan kepul-kepul uap. Begitu juga malam tadi. Begitu pertanyaan sakti
Mas Bo keluar, saya langsung sigap menjawab: Mi ayam Santika!
Tentu saja kami tidak akan makan mi ayam di restoran hotel.
Mi ayam yang ini memang judulnya “Mie Ayam Depan Hotel Santika”. Karena
letaknya persis di depan hotel itu, di Jalan Sudirman, sebelah timur Tugu
Jogja.
Sebetulnya, ditilik dari ‘tampilan luar’-nya, warung mi ini
tak tampak istimewa. Tidak jauh beda dengan warung kaki lima lainnya. Tetapi
saya punya sejarah panjang dengan mi ayam yang sudah ada sejak saya masih SMP
atau SMA itu. Yang mula-mula memperkenalkannya pada saya adalah teman
sepermainan yang juga tetangga depan rumah, Mbak Yuli. Dulu, kami biasa ke sana
jika sore-sore sekira pukul empat, tiba-tiba mulut ingin mengunyah. Kebetulan,
cita rasa mi ayam ini pas dengan selera saya.
gerobak mi ayam depan Hotel Santika. Kalau sedang ramai, meja gerobak akan penuh mangkuk yang menunggu diisi bakmi. |
Kenangan saya tentang mi ayam sebetulnya justru berkisar seputar mi ayam
kampung, yang gerobaknya berwarna biru atau cokelat dan—semasa saya
kanak-kanak, sering ngider dari gang
ke gang. Dulu, semangkuk mi ayam ini harganya hanya 300 rupiah. Naik jadi 500, ketika harga
bensin naik. Kakak sepupu saya (kami tinggal serumah) kadang-kadang membelinya.
Dan ditraktirlah saya. Maka, itulah ‘makanan sampah’ masa kecil saya: semangkuk
mi ayam Jawa yang mi-nya bulat-tebal-liat, kuahnya manis, bercampur sawi
setengah matang, dan salutan saus tomat yang tak kira-kira. Barangkali, itulah
ingatan kedua saya tentang mi ayam (yang pertama adalah Bakmi GM yang dulu
dijual di Borobudur Plaza, dengan bola-bola bakso ikan, udang, dan aneka daging
lainnya).
Mungkin karena jenuh dengan mi ayam kampung, ditambah lagi
di depan SMA saya ada penjual mi ayam yang jenisnya serupa (mi ayam Pak Kliwon;
sepulang sekolah kami sering mampir ke sana), tiba-tiba saya jadi cukup
selektif dengan mi ayam. Hahay! Selain Mbak Yuli, adalah teman satu bimbingan
belajar saya, Emil, yang ‘mengajari’ saya mana-mana saja kedai mi ayam (juga es campur) yang lezat.
Bersama dialah saya berpetualang ‘mi’. Agaknya, di saat itu pula selera mi ayam saya jadi
terbentuk.
Pilihan saya adalah mi ayam asin, bukan mi ayam kampung yang
manis kuah kecap. Di sekitar tempat tinggal saya dulu, hanya ada 2 warung mi
ayam yang memenuhi selera ini: di Ngampilan, dekat area bakpia Pathuk (sekarang
sudah tidak ada), dan di SMP 11, seberang RS Ludira Husada Tama (sekarang masih
ada; hanya buka siang hari sampai kira-kira pukul 2). Nah, mi ayam Santika ini jenisnya sama dengan yang SMP 11: ia adalah mi
ayam asin dengan jenis bakmi yang pipih, bukan bulat. Salah satu yang khas dari
mi ayam jenis ini adalah biasanya ia ditaburi rajangan daun bawang. Aroma
bawangnya juga lebih kentara daripada mi ayam kampung.
Semangkuk mi ayam dan potongan daun bawang yang selalu berhasil membuat saya berselera |
Ketika akhirnya tempat domisili saya bergeser, dari Selatan
ke Utara Jogja, hanya mi ayam Santika yang selalu bisa memancing selera makan
saya. Akhirnya saya memang menemukan beberapa alternatif mi ayam lain, yang posisinya lebih 'terjangkau' dari tempat tinggal kami. Misalnya,
mi ayam/yamin Mas Yudi, yang agak-agak mirip meski tetap beda. Tetapi jenis mi
ayam macam begini agaknya memang tak banyak dijual di Jogja. Barangkali karena
banyak orang lebih suka mi ayam kampung yang bakminya bulat tebal dan kuahnya
kental manis itu. Bakmi ayam jenis ini juga bisa ditemukan di Jalan AM Sangaji, di seberang-utara SD Tumbuh. Judulnya Mi Ayam Pak Pendek; Mas Bo lebih suka yang
ini daripada Santika.
Selain itu, ada juga Mi Ayam Pathuk, yang kata teman saya,
dicampuri lemak babi. Pangsit gorengnya luar biasa enak, karena digoreng
langsung setelah dipesan, dan renyah bukan main. Tapi mi ayamnya menurut saya,
meskipun enak, ya ‘enak’ saja. Belum masuk kategori ‘enak banget’. Kalaupun ada yang istimewa, itu adalah porsinya yang jumbo. Plus, kedai mi ini juga jual bakpao yang kata banyak orang rasanya istimewa (dan ber-lemak babi :D). Kalau kata saya, bakpaonya memang lumayan, tapi rasanya bakpao Yong Yen yang sering ngider di seputaran rumah masa kecil saya masih lebih nyamnyam. Kapan-kapan deh, ulasannya saya muat kalau berkesempatan ke sana lagi.
Yang jelas, kalau
sedang kepingin mencicip kuah gurih beraroma bawang, potongan sawi setengah
matang, dan mi ayam yang asin (plus porsi cukup mengenyangkan), pilihan di depan
Hotel Santika ini bisa jadi salah satu alternatif untuk dicoba. Harganya juga
jelas sesuai kantong mahasiswa. Jangan salah; pejabat juga kadang makan di
sana, lho!
O ya, mi ayam depan Hotel Santika ini kadang-kadang tutup; kadang waktu tutupnya (entah kenapa) bareng pula dengan mi ayam Pak Pendek. Tapi kalau kita bergeser sedikit ke barat, di depan Hotel Phoenix ada kedai mi ayam sejenis, yang konon penjualnya bersaudara dengan penjual mi ayam depan Hotel Santika. Jenis mi ayamnya sama, rasanya juga sebelas-dua belas. Bedanya, mi ayam ini menawarkan rasa bawang yang lebih pekat ketimbang mi ayam depan Hotel Santika. Dan kalau menurut saya, meski bawang (putih)nya sangat terasa, secara umum bumbu mi ayam depan Hotel Santika lebih pas dan sedap di lidah (saya).
Jadi, kira-kira mana yang paling pas dengan selera Anda?
Mi ayam + 4 pangsit (bisa rebus semua, rebus dan goreng,
atau goreng semua), Rp 7.000,-
Teh/jeruk panas/es, Rp 2.000,-