Monday, November 25, 2013

Legenda Bawang Putih dan Daun Bawang dalam Semangkuk Mi Ayam

Seperti kemarin dan kemarinnya lagi, Jogja muram dan menangis ketika hendak melepas hari. Ya ampun; apa itu?? Intinya, sebelum sore, karena sudah masuk musim basah, kedatangan hujan hampir selalu bisa dipastikan.

Terbayang, kan? Makanan yang selalu tampak nikmat sewaktu hujan kira-kira ya itu-itu saja: bakso, mi ayam, sop; apa pun yang berkuah dan mengeluarkan kepul-kepul uap. Begitu juga malam tadi. Begitu pertanyaan sakti Mas Bo keluar, saya langsung sigap menjawab: Mi ayam Santika!

Tentu saja kami tidak akan makan mi ayam di restoran hotel. Mi ayam yang ini memang judulnya “Mie Ayam Depan Hotel Santika”. Karena letaknya persis di depan hotel itu, di Jalan Sudirman, sebelah timur Tugu Jogja.

Sebetulnya, ditilik dari ‘tampilan luar’-nya, warung mi ini tak tampak istimewa. Tidak jauh beda dengan warung kaki lima lainnya. Tetapi saya punya sejarah panjang dengan mi ayam yang sudah ada sejak saya masih SMP atau SMA itu. Yang mula-mula memperkenalkannya pada saya adalah teman sepermainan yang juga tetangga depan rumah, Mbak Yuli. Dulu, kami biasa ke sana jika sore-sore sekira pukul empat, tiba-tiba mulut ingin mengunyah. Kebetulan, cita rasa mi ayam ini pas dengan selera saya.

gerobak mi ayam depan Hotel Santika. Kalau sedang ramai, meja gerobak akan penuh mangkuk yang menunggu diisi bakmi.
Kenangan saya tentang mi ayam sebetulnya justru berkisar seputar mi ayam kampung, yang gerobaknya berwarna biru atau cokelat dan—semasa saya kanak-kanak, sering ngider dari gang ke gang. Dulu, semangkuk mi ayam ini harganya hanya 300 rupiah. Naik jadi 500, ketika harga bensin naik. Kakak sepupu saya (kami tinggal serumah) kadang-kadang membelinya. Dan ditraktirlah saya. Maka, itulah ‘makanan sampah’ masa kecil saya: semangkuk mi ayam Jawa yang mi-nya bulat-tebal-liat, kuahnya manis, bercampur sawi setengah matang, dan salutan saus tomat yang tak kira-kira. Barangkali, itulah ingatan kedua saya tentang mi ayam (yang pertama adalah Bakmi GM yang dulu dijual di Borobudur Plaza, dengan bola-bola bakso ikan, udang, dan aneka daging lainnya).

Mungkin karena jenuh dengan mi ayam kampung, ditambah lagi di depan SMA saya ada penjual mi ayam yang jenisnya serupa (mi ayam Pak Kliwon; sepulang sekolah kami sering mampir ke sana), tiba-tiba saya jadi cukup selektif dengan mi ayam. Hahay! Selain Mbak Yuli, adalah teman satu bimbingan belajar saya, Emil, yang ‘mengajari’ saya mana-mana saja kedai mi ayam (juga es campur) yang lezat. Bersama dialah saya berpetualang ‘mi’. Agaknya, di saat itu pula selera mi ayam saya jadi terbentuk.

Pilihan saya adalah mi ayam asin, bukan mi ayam kampung yang manis kuah kecap. Di sekitar tempat tinggal saya dulu, hanya ada 2 warung mi ayam yang memenuhi selera ini: di Ngampilan, dekat area bakpia Pathuk (sekarang sudah tidak ada), dan di SMP 11, seberang RS Ludira Husada Tama (sekarang masih ada; hanya buka siang hari sampai kira-kira pukul 2). Nah, mi ayam Santika ini jenisnya sama dengan yang SMP 11: ia adalah mi ayam asin dengan jenis bakmi yang pipih, bukan bulat. Salah satu yang khas dari mi ayam jenis ini adalah biasanya ia ditaburi rajangan daun bawang. Aroma bawangnya juga lebih kentara daripada mi ayam kampung.

Semangkuk mi ayam dan potongan daun bawang yang selalu berhasil membuat saya berselera
Ketika akhirnya tempat domisili saya bergeser, dari Selatan ke Utara Jogja, hanya mi ayam Santika yang selalu bisa memancing selera makan saya. Akhirnya saya memang menemukan beberapa alternatif mi ayam lain, yang posisinya lebih 'terjangkau' dari tempat tinggal kami. Misalnya, mi ayam/yamin Mas Yudi, yang agak-agak mirip meski tetap beda. Tetapi jenis mi ayam macam begini agaknya memang tak banyak dijual di Jogja. Barangkali karena banyak orang lebih suka mi ayam kampung yang bakminya bulat tebal dan kuahnya kental manis itu. Bakmi ayam jenis ini juga bisa ditemukan di Jalan AM Sangaji, di seberang-utara SD Tumbuh. Judulnya Mi Ayam Pak Pendek; Mas Bo lebih suka yang ini daripada Santika. 

Selain itu, ada juga Mi Ayam Pathuk, yang kata teman saya, dicampuri lemak babi. Pangsit gorengnya luar biasa enak, karena digoreng langsung setelah dipesan, dan renyah bukan main. Tapi mi ayamnya menurut saya, meskipun enak, ya ‘enak’ saja. Belum masuk kategori ‘enak banget’. Kalaupun ada yang istimewa, itu adalah porsinya yang jumbo. Plus, kedai mi ini juga jual bakpao yang kata banyak orang rasanya istimewa (dan ber-lemak babi :D). Kalau kata saya, bakpaonya memang lumayan, tapi rasanya bakpao Yong Yen yang sering ngider di seputaran rumah masa kecil saya masih lebih nyamnyam. Kapan-kapan deh, ulasannya saya muat kalau berkesempatan ke sana lagi. 

Yang jelas, kalau sedang kepingin mencicip kuah gurih beraroma bawang, potongan sawi setengah matang, dan mi ayam yang asin (plus porsi cukup mengenyangkan), pilihan di depan Hotel Santika ini bisa jadi salah satu alternatif untuk dicoba. Harganya juga jelas sesuai kantong mahasiswa. Jangan salah; pejabat juga kadang makan di sana, lho!

O ya, mi ayam depan Hotel Santika ini kadang-kadang tutup; kadang waktu tutupnya (entah kenapa) bareng pula dengan mi ayam Pak Pendek. Tapi kalau kita bergeser sedikit ke barat, di depan Hotel Phoenix ada kedai mi ayam sejenis, yang konon penjualnya bersaudara dengan penjual mi ayam depan Hotel Santika. Jenis mi ayamnya sama, rasanya juga sebelas-dua belas. Bedanya, mi ayam ini menawarkan rasa bawang yang lebih pekat ketimbang mi ayam depan Hotel Santika. Dan kalau menurut saya, meski bawang (putih)nya sangat terasa, secara umum bumbu mi ayam depan Hotel Santika lebih pas dan sedap di lidah (saya). 

Jadi, kira-kira mana yang paling pas dengan selera Anda?

Mi ayam + 4 pangsit (bisa rebus semua, rebus dan goreng, atau goreng semua), Rp 7.000,-

Teh/jeruk panas/es, Rp 2.000,-

Wednesday, November 13, 2013

Insiden Sop Ayam yang (tak terlalu) Bikin Penasaran

Gara-gara mendadak pilek, dan Jogja hujan deras sejak menjelang sore, menu makan malam yang terbayang-bayang di kepala saya adalah sop panas pedas dan nasi putih. Maka, ketika Mas Bo bertanya seperti biasa: "Mau makan apa malam ini?", saya langsung menjawab mantap: sop ayam Sambel Bawang.

Sebetulnya ada dua warung sop yang biasa saya datangi (referensi saya memang cuma dua, hiks...): Mega Sop Klebengan dan warung Sambel Bawang Cak Ilham Terminal Condongcatur, yang juga menjual sop dan soto. Kali ini, supaya gampang dan dekat--dan karena rasa sop Mega Sop luar biasa standar--saya pilih Terminal Concat punya. Tapi, seperti biasa, kami bertualang dulu sebelum makan; cari mangga bakal obat ngidam, cari softcase buat hape-nya Mas Bo, plus mampir ke rentalkamera.com untuk kebutuhan masadepan. #uhuk! Setelah itu, baru kami meluncur ke Terminal Concat.

Mujur (atau malang, ya?), tenda warung Cak Ilham tampak tanpa bekas. Mungkin karena malam ini memang tutup, atau kami kehabisan. Maklum, sudah jam 10 malam ketika kami sampai. Jadilah, saya dan Mas Bo berkeliling terminal untuk mencari makanan berkuah yang sudah saya bayang-bayangkan sejak sore. Dan..., eh!

Ternyata, di deretan sebelah utara Terminal Condongcatur, ada kedai sop! Spanduknya cukup menarik, dipasang di foodcourt mal kecil macam Galeria juga masih pantas. Kalau tidak salah, judulnya adalah "Warung Spesial Sop", kedai keempat dari timur, diapit warung Mie Jakarta dan Mie Jawa. Yang lucu, ketika kami datang, yang menyambut adalah mas-mas muda, kelihatannya bukan orang Jawa (agak mirip orang Batak), dan tidak kelihatan seperti penjual makanan. Sebetulnya, saya sempat ragu. Apalagi melihat penampilan si mas yang lebih mirip preman amatiran daripada tukang warung makan. Tapi baiklah, pilihan sudah dijatuhkan. Saya dan Mas Bo sama-sama memesan sop ayam kampung. Apa pun risikonya, kami akan tanggung. :P

Tak sampai lima menit kemudian, minuman datang. Bagus. Sebaliknya, proses memanaskan sup-nya makan waktu agak lama, barangkali sekitar 15-20 menit, karena saya sempat tolah-toleh ke dapurnya saking tak sabar. Untung, tak lama setelah tolah-toleh, pesanan kami pun datang, diantar oleh mas-mas berwajah gahar tapi super-sopan tadi. Asik! Akhirnya, makan!

Semangkuk sop ayam kampung puanas; nyamm...
Ketika sendok pertama saya perlahan-lahan mengantar kuah sop ke mulut, hati kecil saya langsung melonjak. Sedap! Sedap yang bukan dari penyedap rasa, atau kalaupun oleh penyedap, porsinya sangat manusiawi. Buru-buru saya melahap sop ayam kampung yang puanas mendidih dan pedas itu. Hmmmm.....

Yang membuat ia nyantol di hati saya adalah, rasanya mengingatkan pada sop ayam bikinan alm. nenek saya, dulu. Mirip, meskipun yang ini lebih sedap (mungkin karena faktor penyedap rasa tadi). Ayamnya juga serius ayam kampung, alot dan rasanya khas, tapi enak. Dalam semangkuk sop, ada dua potong ayam yang besarnya cukupan (seperti foto di atas), dengan potongan wortel, kentang, tomat, seledri, dan taburan bawang goreng. Sebetulnya sangat standar, dengan keistimewaan yang sederhana: rasanya mirip sop bikinan ibu di rumah. Sangat berbeda dengan Mega Sop yang cenderung 'pura-puranya sop', atau sop Cak Ilham yang memakai kemiri sehingga kuahnya agak kental seperti soto Surabaya, plus ayamnya adalah suwiran ayam potong-goreng (dengan rasa penyedap yang kentara). Selain bercitarasa rumahan, sop ayam kampung ini juga bersih. Rasanya 'bersih'. Agak sulit sih, mendeskripsikan maksud 'rasanya bersih', tapi kira-kira begitulah. Silakan dipahami dengan perasaan. :D

Harga yang dipatok juga tak terlalu mahal. Untuk semangkuk sop ayam kampung plus nasi putih, kami membayar Rp 13.000,-. Segelas minuman juga hanya dihargai Rp 2.000,- layaknya angkringan. Tapi jangan berharap banyak, karena hanya ada teh, jeruk, dan air putih di sana. 


Sop Iga Sapi, Rp 13.000,-
Sop Buntut Sapi, Rp 13.000,-
Sop Ayam Kampung, Rp 11.000,-
Nasi putih, Rp 2.000,-
Teh (hangat/es), Rp 2.000,-
Jeruk (hangat/es), Rp 2.000,-
Air putih, lupa berapa :D

Jadi, jika kangen sop ala rumahan, cobalah mampir ke kedai ini. Kapan-kapan mungkin saya akan mencicipi Sop Buntut atau Sop Iga-nya, jika lagi-lagi mendadak kepingin sop dan Jogja hujan sore-sore. 

Ketika berjalan ke tempat parkir, saya berkata pada Mas Bo. "Berbakti sekali, ya. Itu masnya, bantuin ibunya jualan makanan di warung."
"Apa iya? Biasa aja, ah," kata Mas Bo.
"Ih, emangnya kamu mau disuruh nemenin Ibu jualan kayak gitu?"
Lantas, seperti biasa, kami pun eyel-eyelan. Tapi sumpah deh, setelah membayar dan dilayani dengan sangat sopan oleh mas-mas berwajah gahar itu, saya langsung berpikir: jarang-jarang deh, di zaman sekarang, ada anak laki-laki yang bersedia menemani ibunya di warung seperti itu. Pantas saja jika rasa sop-nya sangat rumahan 'ala ibu'. Barangkali karena kokinya, sang ibu berwajah Batak atau Sumatera, merasa tentram ditemani putra tersayang. Meskipun sebenarnya saya tidak tahu, apakah si mas muda itu betul anak si ibu koki atau bukan. Tetapi anggaplah begitu. Supaya saya bisa bilang: manisnyaaa. []

Tuesday, November 12, 2013

Steak; Sekerat Daging yang Bikin Air Liur Membanyak


Ini gara-gara hujan sore-sore, dan mendadak Mas Bo mengangankan makan sekerat daging berjudul steak. Ia menyebut salah satu merek steak legendaris di Jakarta, yang dulunya 'hanya' kakilima, dan sekarang harganya selangit. Intinya, rasa mesti serius. Baiklah. Jadilah ia sebuah titah.

Maka, mendadak saya terpaksa menjelajah review dan komentar perihal per-steak-an di seputar jogja utara, sementara ia tertidur lelap di samping saya. 

Sebetulnya tidak banyak jendela yang saya buka. Ditambah, saya jadi ikut ngantuk mendengar dengkur halusnya. Pun dari yang sedikit itu, hanya beberapa nama kedai steak yang mencuri perhatian saya. Nah, tapi bayangkan, deh. Saya mesti mengira-ngira rasa sekerat daging, melalui keping-keping kisah dan tulisan orang lain (yang tentu punya standar lidahnya sendiri). Jadi, terpaksa (lagi) saya menggunakan intuisi ketika memilih. Ketika akhirnya saya memilih untuk ikutan tidur, satu referensi kedai sudah tersimpan dalam kepala.

Sekerat daging yang membayang dan liur yang membanyak terpaksa ditunda karena sekeluarga teman datang bersambang. Baru selewat pukul sembilan, saya dan Mas Bo kelayapan mencari makan. Tadinya, bahkan niat untuk makan steak hampir pupus, digantikan menu rutin ketika pilihan makanan seolah tak lagi banyak: sambel bawang Terminal Condongcatur. Alasan Mas Bo, takut sudah tutup. Saya, yang sudah bela-belain menunda hasrat untuk tidur demi menjelajah jendela maya, buru-buru pasang muka ngambek. Berhasil, dong. Mas Bo mengalah. Jadilah kami meluncur turun, dari Kentungan ke Jalan Kaliurang no 24 KM 5. 

Pilihan intuitif saya jatuh pada Sepiring Bistro (t: 0274514692 | @sepiringbistro), kedai makan yang barangkali sudah ratusan kali kami lewati tapi tak pernah dilirik. Ketika kami sampai, resto itu sepi; mungkin karena sudah bukan jam makan, yaaa. Kesan pertama saya: menyenangkan. Banyak tempat duduk empuk! Saya suka resto bersofa, karena rasanya itu berarti mereka membiarkan kita berlama-lama berkubang nyaman di sana. Karena saya dan Mas Bo memilih area merokok, maka kami melesat ke lantai dua. 

Jelas kami tak berlama-lama menyimak menu, karena lapar sudah lama terlewat. Maka, saya memesan steak ayam (tadinya kepingin pesan steak salmon, tapi kata Mbak-nya 'belum ready'), sementara pilihan Mas Bo jatuh pada Double Decker (salah satu varian mixing meat), semacam daging ayam yang mengempit daging sapi-keju di tengahnya. Biar nggak seret, saya memesan air pear jahe sebagai teman makan, sementara Mas Bo setia dengan air putih-nya. 

Sekitar 15 menit kemudian, pesanan kami datang. Sebelumnya, compliment berupa dua gelas air putih dan keripik singkong segera terhidang setelah kami memesan. Menyusul, air pear jahe pesanan saya. Ini menyenangkan lho, karena beberapa resto sekelas Sepiring Bistro agak lambat mengantar pesanan minuman, bahkan ada yang mengantar makanan dulu, air minum menyusul kemudian. Baiklah. Kembali ke menu utama. Saya dan Mas Bo segera sibuk mencicip pesanan masing-masing dengan penuh penghayatan. Dan, ....

Chicken steak yang tak lagi utuh
Buat saya, ini steak paling enak di Jogja yang pernah saya makan. Dibandingkan R&B Grill yang banyak direkomendasikan, saya lebih suka steak Sepiring. Mas Bo lebih suka steak R&B Grill, sih. Tapi dia mengakui, ini masuk kategori enak. "Lebih enak daripada Parsley, ya?" tanya saya. Dia setuju. 

Steak ayam saya datang bersama kentang tumbuk, saus keju krim, manisan kubis merah, dan krim bayam. Konon, semua steak Sepiring diperlengkapi dengan macam-macam olahan kentang; tumbuk, rebus, dantralala. Plus manisan kubis merah dan krim bayam. Ketika sepotong ayam bersalut keju krim bersama kentang tumbuk, manisan kubis merah, dan krim bayam beradu dengan lidah, rasanya seolah lumer dalam mulut. Manis, creamy, gurih keju, sepercik rasa lada di kentang tumbuk, dan bumbu yang pas melengkapkan sukacita saya malam ini. Juga asam-gurih jamur yang sesekali menyeruak. Nyamm. Enak! Tak ada rasa terganggu akibat daging ayam bagian dalam yang terasa kurang matang, tak ada sebah perut gara-gara MSG berlebihan (catatan: resto ini menyatakan masakan mereka tanpa penyedap rasa). Buat saya, sempurna. 

Porsinya juga mengenyangkan, bahkan untuk Mas Bo. Dengan sedih, saya terpaksa meninggalkan sepertiga kentang tumbuk di piring saya karena perut tak lagi muat. Baru jam setengah sebelas, setelah muatan dalam perut sedikit turun, kami beranjak dari Sepiring.

Secara keseluruhan, saya merekomendasikan Sepiring Bistro. Pelayanannya memuaskan, tempatnya nyaman (area merokoknya manusiawi--sayang, bising Jalan Kaliurang lumayan mengganggu), dan ... harga yang tertera di menu sudah termasuk pajak! Buat saya, harga yang dibayarkan sangat sebanding dengan rasa, porsi, dan kenyamanannya. Catatan: beberapa resto lain dengan standar harga yang sama menawarkan kualitas makanan yang menurut saya lebih rendah. 


Chicken Steak, Rp 35k
Double Decker, Rp 41k
Salmon Steak, Rp 59k
Wagyu Steak, Rp 129k & Rp 159k
Air pear jahe, Rp 13k
Air lemon jahe, Rp 11k
Rata-rata jus berbagai rasa, Rp 15k
Air mineral, gratis

Kami keluar resto dengan hati lapang. Angan-angan akan sekerat daging sudah dituntaskan. Mas Bo dan lidahnya tak lagi gelisah. Terima kasih, Sepiring! Untuk kenyang yang awet! []